Ingin kukatakan,
"Kupikir tak ada lagi kita, dari tahun ke tahun aku menahan dan menyiapkan diri untuk segala yang terburuk tapi tak pernah terjadi "
Tapi kalimat itupun tak pernah terucap. Kita seperti dua orang asing yang selalu terjebak oleh momen. Terlalu sering bersama, tapi tak tahu harus bicara apa.
Esok atau puluhan tahun mendatang, atau barangkali saat aku mulai lupa, biar tulisan ini bisa jadi pengingat diri. Bahwa pada suatu masa ada yang terngiang-ngiang di kepala tentang apa yang tak bisa terucap, maupun yang tak bisa dicabut kembali. Maka kutulis sebuah surat entah sampai atau tidak, entah melalui orang kesekian atau langsung kepada si penerima. Inilah suratku:
Kau adalah orang yang punya hati tulus, sifat yang baik, jujur, berpikiran terbuka, berwawasan luas, terpelajar, berbudi pekerti, dan memiliki hati yang lapang dalam memandang berbagai hal. Kekayaanmu adalah semua pribadi baik itu, yang tidak semua orang punya, tapi kau punya dalam dirimu. Tapi aku tak pernah memuji di depanmu langsung. Sengaja aku tidak mau memuji lebih awal. Aku tahu kau telah melewati banyak hal, tapi perjalananmu masih panjang. Aku pun tidak tahu pasti, akan jadi apa kita kelak di kemudian hari.
Aku sendiri sedang belajar, sungguh tidak mau jadi wanita angkuh dan memiliki hati seperti kaca, rapuh dan manja maksudku. Meskipun ya, sejujurnya akupun suka dimanja, aku bahagia saat kau bermanis-manis dalam tingkah lakumu. Kau tahu cara bersikap di hadapan perempuan. Dari siapa kau belajar?
Pada malam itu, hari di mana kartu-kartu bertebaran di meja, aku tahu pasti bahwa kesempatan jelas tidak datang dua kali. Petir tidak menyambar dua kali di tempat yang sama! Tapi pikiranku berputar-putar untuk memikirkan jawaban yang tepat, aku merangkai kata agar tak menyesalinya di kemudian hari (orang harus berpikir sebelum berkata kan?).
Maka kuputuskan saat itu juga: Aku tidak ingin berbicara dalam keadaan bercanda seperti itu. Tidak, sebuah rasa tidak sebercanda itu. 4 tahun. Perasaanku jauh lebih berharga daripada kartu-kartu di meja.
sementara keputusanku kuanggap tepat seperti ini. Aku telah berdiri dalam kesadaranku.
Jadi, kau adalah orang baik. Terbaik yang pernah kutemui dalam hidupku. Aku menjaga dengan hati-hati seperti sebuah guci poselen.
Aku ingin menjadi perempuan yang kuat dan setara di sisimu, supaya jadi teman diskusi dan ngobrol yang baik. Dan membantumu dalam membuat keputusan-keputusan penting. Perempuan pun harus berani menyatakan pendapat kan? Sekalipun belum tentu benar. Aku ingin jadi perempuan tabah. Tak takut pada kekeliruan dan mau belajar dari kesalahan. Pribadimu mampu menerimaku yang seperti itu. Bagaimana? Aku sangat ingin tahu pendapatmu tentang aku.
Apa aku terlalu keras pada diri sendiri? Atau justru sifatku berkebalikan dari apa yang kutulis? Coba katakan padaku agar aku memperbaiki diri.
Dari semua hal yang kutulis di atas, bersamamu aku bisa berkembang dan belajar banyak hal. Pribadimu sangat baik, kau adalah guru kehidupan bagiku. Tapi, entah takdir nanti bagaimana, andaikan aku tanpamu (semoga) akan tetap baik-baik saja dan hidup sebagaimana mestinya. Perempuan harus bisa berdiri di kakinya sendiri, kan? Aku jangan menggantungkan hidup dan bahagiaku padamu, kan? Tidak, tak akan kugantungkan kebahagiaanku sepenuhnya di pundakmu. Itu tanggung jawab diri masing-masing.
Kota B. 2020 Aku yang selalu mengagungkanmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar